Jan 1, 2010

Pamflet

Tipis, ringan, terbuat dari secarik kertas. Ukurannnya tidak lebih besar dari poster dan tidak lebih kecil dari sebuah buku tulis murid Sekolah Dasar. Memang ukurannya tidak terlalu besar, tapi isinya bermacam-macam. mulai dari Iklan, Himbauan, Harapan, Penipuan, Pesan Tuhan, hingga Doktrin Setan. Letaknya ada dimana-mana, menempel di setiap tembok, pintu, dan tiang listrik. Menghias sudut-sudut kota dengan tema kumuh. Ia bisa memberikan perasaan yang berbeda kepada tiap orang yang membacanya. Sedih, Senang, Tangis, Tawa, Bertanya-tanya, Murka. Tetapi setelah membaca, kemudian para manusia mengabaikannya begitu saja. Tak bermakna, dimakan lupa.

Pamflet yang selalu setia menawarkan informasi mulai tak digubris eksistensinya. Ratusan orang lalu lalang melewatinya tak acuh, tak peduli, persetan. Pamflet terus menempel setia di tembok yg retak dan bau pesing. Perlahan tapi pasti pamflet mulai disobek-sobek oleh ganasnya angin musim semi. Sisa informasi yang dulu begitu dicari, kini tinggal serpihan kertas tak berarti. Menjadi kotoran di tembok mati yang bahkan tak lebih berarti dari pamflet itu sendiri. Para pembacanya pun sudah tidak peduli lagi.

Sampai akhirnya pamflet yang sudah terkikis itu mulai dibersihkan, disingkirkan,diusir paksa. Dan di tempat yang sama pamflet-pamflet baru mulai di tempel kembali. Lebih segar, lebih berwarna-warni. Apapun bentuknya, pamflet tersebut akan bernasib sama dengan si pamflet lama. Menarik mata, dibaca dengan seksama, dan kemudian dilupa begitu saja. Hanya jadi selayang pandang semata.


Dan apa jadinya jika sebuah persahabatan seperti pamflet yang tertempel di tembok-tembok kota?….

Hanya jadi selayang pandang semata”.

0 comments:

Post a Comment